Hari ini kita melihat
jumlah ikhwah multazimin yang banyak
sekali, sampai-sampai kita bisa melihat di satu kota, ada ratusan ikhwah
di sana! Meski
jumlah mereka luar biasa, namun jika Anda mencoba untuk menghitung jumlah
personal yang aktif, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat, sehingga pantas
disebut sebagai aktivis Islam, niscaya anda akan mendapati jumlah mereka tidak
mencapai seratus orang. Bahkan Anda dapat menghitung dengan mudah dan
menyebutkan nama-nama mereka..
Lalu, mana kerja, usaha,
dan sumbangsih sekian ribu multazim
itu?! Mana dakwah, hisbah, dan jihad mereka?!
Mereka mengambil peran
sebagai penonton, tak lebih. Mereka merasa cukup sekedar telah berpindah dari
jahiliyah kepada Islam.. Setelah itu, mereka berhenti di titik ini, tidak ingin
meninggalkannya, tidak berhasrat untuk meningkat ke titik berikutnya, bahkan untuk
sekedar mempersiapkan diri mereka sendiri sehingga nantinya mereka sanggup
melangkah dan memberikan sumbangsih dalam pelbagai bidang amal islami.
Jika salah seorang dari
mereka Anda tanyai; apa sumbangsih mereka kepada Islam, apa amal yang telah
mereka kerjakan di jalan dien ini, dan apa yang telah mereka persembahkan
kepada jamaah sejak mereka beriltizam sampai hari ini, mereka pun diam seribu
bahasa.
Kita dapati mereka
merasa cukup dengan menjadi pendengar saja. Merasa cukup dengan menghadiri halaqah, pertemuan, muktamar, membaca
edaran, dan buletin yang diterbitkan, lalu sudah.
Atau menjadi seorang
yang pasif tanpa sumbangsih.
Dilihat dari sisi amal
islami mana pun, mereka tetap menjadi sosok yang benar-benar tidak serius dalam
mempersiapkan diri.. Beberapa tahun berlalu mereka hanya menyelesaikan sebuah
atau dua buah buku Islam yang semestinya diselesaikan dalam waktu ~paling lama~
satu pekan oleh orang-orang yang serius dan tekun.
Problem seperti inilah
yang membuat tak tergalinya berbagai potensi untuk Islam dan dien. Potensi yang
semestinya tampak nyata di semua bidang amal islami; dakwah, hisbah, dan jihad…
Orang-orang yang hanya
menyumbangkan sisa waktu, membelanjakan sedikit sekali dari kekayaan, serta
mengerahkan upaya yang sangat minim untuk Islam ini mestinya tahu bahwa Allah
itu Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik’[1]. Sebagaimana Allah
tidak menerima sedekah yang buruk, Allah pun tidak menerima amal yang buruk,
jika itu sengaja dipilih untuk Islam.
وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ
مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ
Dan janganlah kalian
pilih yang buruk-buruk darinya untuk kallian infakkan (QS.Al-Baqarah : 267)
Sesungguhnya yang
dikehendaki oleh Islam adalah sebagian besar waktumu, hampir seluruh hartamu,
dan segarnya masa mudamu. Islam menghendaki dirimu, seluruhnya. Islam
menghendakimu saat kamu bertenaga, bukan saat telah loyo. Islam menghendaki
masa mudamu, masa kuatmu, masa sehatmu, dan masa perkasamu, bukan masa rentamu.
Islam menghadapi semua yang terbaik, termulia, dan teragung darimu.
Tidakkah kau lihat Abu
Bakar ash-Shiddiq r.a menginfakkan seluruh
hartanya di jalan Allah dan demi dakwah Islam, lalu ketika Rasulullah SAW bertanya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk
keluargamu, wahai Abu Bakar?”, beliau menjawab, “Aku tinggalkan bagi mereka
Allah dan Rasul-Nya.”
Tidakkah kau lihat ‘Utsman
bin ‘Affan membekali seluruh pasukan perang Tabuk sendirian[2]? Coba bayangkan,
seorang diri membekali seluruh pasukan perang;
senjata, perlengkapan, bekal, kuda, onta, dan kebutuhan logistiknya..
Padahal jumlah pasukan saat itu lebih dari 10.000 personil
.
Coba bandingkan
sumbangsih agung ini dengan realita kita hari ini. Kita bisa mendapati banyak
orang islam yang kaya hari ini ~bahkan dari kalangan multazimin~ namun kita kesulitan untuk mendapati seseorang yang
menanggung seluruh ‘budget’ dakwah. Saya katakan ‘dakwah’ bukan ‘jihad’.
Mengapa? Sebab jihad membutuhkan harta yang tak terbatas.
Kita bisa mendapati
seorang ikhwah yang bekerja di salah satu negara di kawasan Teluk selama empat
atau lima
tahun, hidup berkecukupan, dan ia pun tahu persis apa yang dibutuhkan oleh amal
islami dan saudara-saudaranya. Ia pun tahu bahwa kebanyakan keluarga ikhwah
yang diuji di jalan Allah ~jumlah mereka ribuan~ sangat membutuhkan bantuan.
Namun demikian, ia tidak berpikir untuk berjihad dengan hartanya di jalan Allah
~setidaknya sebagai ganti atas ketidakhadirannya untuk berjihad dengan
nyawanya~ selama sekian tahun itu. Ia pun tidak berpikiran untuk membantu
keluarga para mujahid, meninggalkan bagi keluarga mereka sesuatu yang baik. Ia
tidak memikirkan hal itu sedikit pun. Jika ada yang mengingatkannya ia pun
menginfakkan beberapa rupiah yang tidak cukup sekedar untuk mengusir rasa
lapar.. Jumlah yang lebih baik ditolak dari pada diterima… Jumlah yang jauh
dari jumlah yang dikeluarkannya untuk keperluan bahan bakar kendaraannya dalam
satu hari!!
Sesungguhnya Islam
membutuhkan orang yang memberikan segalanya untuk diennya; kehidupannya,
waktunya, hartanya, tenaganya, ruhnya, rumahnya, mobilnya, dan semua yang
dimilikinya. Kita menghendaki seseorang yang ‘menjual dirinya kepada Allah’
dengan keutuhan makna kalimat ini. Kita menghendaki seseorang yang setiap
harinya membawa sesuatu yang baru untuk dipersembahkan kepada Islam.
Bukankah Mush’ab bin
‘Umair, seorang pemuda perlente yang selalu wangi dan mengenakan pakaian terbaik,
seorang pemuda yang ditunggu-tunggu oleh setiap gadis Quraisy karena
ketampanannya, penampilannya, kemuliaannya, dan nasabnya; bukankah ketika ia
memeluk Islam ia persembahkan semuanya, ia berikan semuanya, tanpa ada sesuatu
pun yang disimpannya? Sampai-sampai ia memakai baju yang penuh tambalan saat
hidup, dan di saat mati, kaum muslimin tidak mendapati kain untuk
mengkafaninya?
Sepanjang hidupnya
Mush’ab selalu menghadirkan sumbangsih untuk Islam di bidang dakwah dan jihad.
Ia adalah da’i Islam yang pertama di Madinah. Ia adalah orang yang menyebabkan
kebanyakan penduduk Madinah mendapatkan hidayah. Ia adalah peletak batu pertama
bangunan daulah Islam di Madinah. Selain itu ia juga seorang pejuang agung,
pembawa panji di medan
Uhud, sekaligus salah satu syuhada` teragung di sana… Itulah sumbangsih yang sebenarnya bagi
Islam, dien, dan jamaah Islam.
Selayaknya setiap muslim
bertanya kepada dirinya sendiri setiap waktu…
Berapa orang yang telah
mendapatkan hidayah dari Allah dengan perantara dirinya pekan ini?
Berapa desa yang telah
dimasukinya guna menyeru penduduknya kepada Allah?
Sudahkah kerabat dekat,
tetangga, dan kedua orang tua didakwahi?
Adakah langkah ini maju
menuju pemahaman dan pengamalan Islam yang lebih baik?
Berapa banyak harta yang
telah diinfakkan bagi kaum muslimin di jalan Allah dalam sepekan ini?
Berapa banyak keluarga
dari keluarga mereka yang tengah diuji sudah mendapatkan bantuan; tenaga,
harta, materi, dan dorongan moral?
Berapa banyak keluarga
syuhada yang telah dipenuhi kebutuhannya?
Berapa malam dihabiskan
untuk memikirkan amal Islami secara umum, di kota atau desa tempat tinggal secara khusus?
Atau kota dan
desa terdekat?
Berapa kali telah
beramar makruf nahi munkar?
Berapa kali telah
berperang menghadapi musuh-musuh Islam dan meninggalkan sesuatu yang berarti
pada mereka?!
Berapa kali
memperjuangkan hukum Allah dan membela kaum muslimin; darah dan kehormatan
mereka?
Berapa kali mengunjungi
orang sakit dan mengajak mereka kepada Islam? Atau memperbaiki hubungan yang
renggang antara dua orang yang tengah berseteru? Atau mengunjungi ikhwah
fillah? Atau menyerunya kepada Allah dalam pekan ini?… Dan masih banyak lagi
pertanyaan untuk berintrospeksi dari waktu ke waktu.
Dengan menjawab secara
jujur, Anda akan tahu seberapa serius kelalaian dan peremehan yang Anda lakukan
berkenaan dengan hak Allah Dan dengan itu pula Anda dapat mencoba untuk
memperbaikinya sebelum Allah terlanjur menjatuhkan hukuman-Nya kepadamu dan
menghalangimu dari kemuliaan beramal bagi dien-Nya dan menjadi bagian dari
jalan yang penuh izzah ini
قُلْ
هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ
اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik".(QS.Yusuf : 108)
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan
di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari
keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS.Al-Baqarah :
207)
Bagaimana pendapat anda jika ada seorang buruh pabrik, ia
tidak mengerjakan apa-apa, tidak menghasilkan apa-apa, kerjanya cuma mengisi
daftar hadir di pagi hari lalu pulang di sore hari. Ia tidak menghabiskan
waktunya di pabrik bersama teman-temannya yang bekerja dengan giat penuh
semangat. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh pemilik pabrik terhadap buruh
yang satu ini? Pasti ia akan memecatnya seketika.. begitu pun dengan ikhwah
yang tidak memahami Islam selain memakai baju gamis dan memanjangkan jenggot,
ia pasif dan tidak mempersembahkan sesuatu pun untuk Islam, kalau pun memberi
hanya sedikit atau yang tidak baik..
Segelintir tokoh dan
ikhwah yang aktif beramal islami dengan giat dan sungguh-sungguh, tidak akan
pernah mampu menegakkan daulah Islam sendirian, seberapa pun usaha dan
tenaga yang mereka kerahkan. Pun tidak akan mampu mengemban seluruh beban amal
islami di negeri yang luas ini. Apalagi semuanya tahu tindakan yang diambil
oleh thaghut untuk menghadapi para aktivis Islam. Tindakan yang menjadikan
sekian ikhwah dihadapkan pada ujian yang berat dari waktu ke waktu, sehingga
mereka meninggalkan ruangan kosong yang semestinya diisi. Operasi yang mereka
lakukan membuat gerakan ikhwah tersendat dan terbatas, mengharuskan setiap
ikhwah untuk lebih mengerahkan tenaga lagi, lebih meningkatkan diri dalam medan amal islami dan
mengupayakan sumbangsih supaya ia lebih mampu mengemban tanggung jawab,
tanggung jawab amal Islami, dan belajar bagaimana berdakwah, mentarbiyah,
menegakkan hisbah, jihad, dan menggerakkan orang lain, dan semua skill yang
dibutuhkan.
Seorang ikhwah
selayaknya tidak berdiam diri di rumah, mengandalkan orang lain yang akan
mengambil peran itu. Sebab siapa yang akan datang?! Semestinya ia berupaya
~semampunya~ untuk melaksanakan berbagai bentuk amal islami semuanya dengan
semangat, giat, kuat, responsif, tekun, dan serius. Agar terbukti kata seorang
penyair
تَرَى الْجُمُوْعَ وَلَكِنْ
لاَ تَرَى أَحَدًا وَقَدْ تَرَى هِمَّةَ اْلآلاَفِ فِيْ رَجُلٍ
Kau lihat sekumpulan tetapi tak kau lihat seseorang
Kadang kau lihat semangat seribu orang ada pada seseorang
Sesungguhnya hari ini Islam membutuhkan seseorang yang mengorbankan segalanya, membelanjakan semua miliknya di jalan Allah, dan menyerahkan seluruh umurnya lillah, untuk memenangkan dien-Nya..
Hari ini Islam
membutuhkan seseorang yang berkata dari nuraninya seperti ucapan Sa’ad bin
Mu’adz kepada Rasulullah SAW saat perang Badar; hari berat pertama yang dilalui oleh daulah
Islam yang baru saja lahir di Madinah Munawwarah.
Sa’ad berkata, “Silakan melangkah, wahai
Rasulullah, ke mana pun Anda suka. Kami akan bersama dengan Anda. Demi yang
telah mengutusmu dengan kebenaran, sekiranya Anda bawa kami ke tepi laut lalu
Anda menceburkan diri ke dalamnya, niscaya kami semua akan menceburkan diri
kami bersamamu, tiada satu pun yang akan ketinggalan. Sedikit pun kami tidak
enggan untuk Anda pertemukan kami dengan musuh-musuh kita esok hari.”[3]
Ia juga berkata,
“Sambunglah tali siapa yang Anda suka, putuskan tali siapa yang Anda suka, dan
ambillah harta kami sesuka Anda[4], sesungguhnya apa yang
Anda ambil lebih kami sukai daripada yang Anda tinggalkan”[5]
Sungguh kalimat di atas
adalah kalimat agung yang pernah diucapkan oleh seorang tentara kepada
komandannya sepanjang sejarah. Kalimat yang dialiri kehidupan, gerakan, dan
kejujuran. Meski masa telah berlalu lebih dari 14 abad. Masya Allah bahwa Dia
mengabadikan pengaruhnya sampai hari kiamat tiba. Sesungguhnya itulah ungkapan
jujur dari sesuatu yang menjalar dalam rasa dan jiwa sekelompok kecil
orang-orang beriman dari kalangan Anshar di bawah kepemimpinan seorang yang
agung, Sa’ad bin Mu’adz. Kalimat yang telah diteriakkan oleh hati Sa’ad sebelum
diteriakkan oleh lisannya yang jujur. Dan kalimat ini pun membawa pengaruh yang
sangat dalam diri Rasul mulia, sang panglima SAW. Beliau benar-benar berbahagia dan bertambah semangat dalam
berperang dikarenakan perkataan Sa’ad ini. Beliau bersabda, “Maju dan
bergembiralah! Sesungguhnya Allah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua
kelompok. Demi Allah, kini aku ~seakan-akan~ melihat saat kekalahan mereka.”[6]
Islam hari ini
membutuhkan pasukan yang hati dan lisannya meneriakkan teriakan Sa’ad bin
Mu’adz di setiap tempat. Tentu saja lengkap dengan kejujurannya. Pasukan yang
dari nurani mereka terucap kata-kata pahlawan perkasa Miqdad bin ‘Amru, tertuju
kepada panglima kebenaran. Saat kepada Rasulullah SAW Miqdad berkata, “Wahai Rasulullah, melangkahlah ke arah yang
ditunjukkan Allah kepada Anda, kami selalu bersama Anda. Demi Allah, kami tidak
akan mengatakan ucapan Bani Israil kepada Musa ‘Pergilah, kamu bersama Rabbmu,
lalu berperanglah! Kami menunggu di sini.’ (al-Maidah : 24) kami akan katakan,
‘Pergilah, kamu bersama Rabbmu, lalu berperanglah! Sungguh, kami akan berperang
bersamamu!’”[7]
Katakan kepada mereka,
“Kami tidak akan duduk di bangku cadangan ketika kalian beramal di jalan Allah;
berdakwah, beramar makruf nahi munkar, menyuarakan kebenaran, dan berjihad fi
sabilillah. Kami akan selalu bersama kalian, sesulit dan seberat apa pun
keadaannya.. Kami tidak akan pernah meninggalkan kalian berperang sendirian.
Kami akan selalu berperang bersama kalian, mengerahkan seluruh kekuatan,
membelanjakan seluruh kekayaan, dan memberikan sumbangsih bersama kalian.
Melangkahlah sesuai perintah Allah dan Rasul-nya! Melangkahlah sesuai dengan
petunjuk Allah dan Rasulnya!..”
Hari ini Islam
menghendaki setiap muslim berujar kepada dirinya sendiri, “Apakah pantas aku
beristirahat, sementara saudara-saudaraku berpayah-payah di jalan Allah? Apakah
pantas aku tidur nyenyak sementara saudara-saudaraku disiksa di jalan Allah?
Apakah pantas aku tinggalkan amal Islami sementara aku melihat kesulitan berat
dan peperangan hebat melawan musuh sedang dihadapi oleh umat Islam?”
Islam menghendaki
seseorang yang mengucapkan kata-kata Abu Khaitsamah saat ia terlambat menyusul
Rasulullah saw ke medan Tabuk, “Rasulullah saw dibakar terik mentari, angin badai, dan
panas yang menyengat. Abu Khaitsamah di bawah naungan sejuk, makanan yang
tersaji, dan istri yang cantik, menunggui hartanya. Sungguh ini sangat tidak
pantas.”[8]
Kalimat-kalimat yang
agung ini mestinya digumamkan oleh setiap muslim, khususnya ikhwah multazim. Kepada diri sendiri
selayaknya ia berkata, “Sebagian dari saudara-saudaraku seiman kini disiksa,
sebagiannya lagi diusir dan tidak mendapatkan tempat tinggal, dan sebagian yang
lain dibunuh dan diintimidasi. Sedangkan aku; aku bergelimang kenikmatan, aku
makan apa yang aku mau, aku minum minuman yang paling menyegarkan, di ruangan
yang sejuk penuh dengan kenikmatan. Aku tidak sedikit pun memberikan sumbangsih
untuk Islam. Sebaliknya, aku justru meninggalkan saudara-saudaraku menanggung
semua beban berat itu! Ini benar-benar tidak pantas dan tidak adil. Demi Allah,
aku akan menyusul saudara-saudaraku, berjihad bersama mereka, mengerahkan
segenap upaya di jalan Allah bersama mereka. Aku akan merasakan apa yang mereka
rasakan. Aku akan menanggung beban sebagaimana mereka pun menanggungnya..”
Sesungguhnya Islam
menginginkan kalian meneladani Rasulullah saw yang diperintah oleh Allah untuk mengatakan,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
“Maka jika kamu
telah menyelesaikan (suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan
yang lain)!” (QS. Alinsyirooh : 7)
Maksudnya, jika telah menyelesaikan satu perintah hendaknya
berpayah-payah lagi untuk mengerjakan perintah yang lain..
Betapa hari ini kita
membutuhkan arahan semacam ini. Arahan yang jika diimplementasikan dalam amal
Islami, niscaya kita akan dapat melangkah dengan sangat cepat menuju jalan
kemenangan dan kejayaan. Arahan yang bunyinya, “Tidak ada waktu istirahat bagi
seorang muslim atau program untuk itu. Jika kamu telah menyelesaikan satu
perintah, segera kerjakan yang lainnya. Jika kamu telah menyelesaikan suatu
amal untuk Islam, jangan sampai tanganmu berhenti karena suatu sebab atau yang
lainnya semacam ‘ujub, membicarakannya, merenungkannya, membanggakannya, atau
merasa cukup dengannya. Sebaliknya, segeralah berpayah-payah mengerjakan amal
yang lainnya, begitu seterusnya.. Sesungguhnya jika kereta amalmu untuk Islam
telah berjalan, jangan sekali-kali menghentikannya, walau sesaat karena sesuatu
hal. Jika kamu melakukannya dikhawatirkan kereta itu tidak dapat berjalan lagi
selamanya, dan kalau pun berjalan, ia akan berjalan dengan susah payah.
Sesungguhnya kebaikan itu akan menunjukkan kepada kebaikan yang lain, ketaatan
itu akan mengajak kepada ketaatan yang lain, dan kesalehan itu akan
menghantarkan kepada kesalehan yang lain. Begitu pula halnya dengan kemalasan
dan menganggur.”
Ingatlah selalu, kamu
ini berada di salah satu garis perbatasan Islam. Jangan sampai Islam diserang
dari arahmu. Jangan sekali-kali lengah akan kedudukanmu walau sesaat. Jika kamu
melakukannya, sungguh, musuh akan menyergapmu, membunuhmu, dan membunuh
orang-orang yang bersamamu, juga yang ada di belakangmu!
Barangsiapa tidak
menyirami kebunnya sekali atau beberapa kali, niscaya akan rusaklah buah yang
ditanamnya. Karena itulah, seorang ikhwah semestinya menyambung malamnya,
siangnya, paginya, sorenya, musim panasnya, dan musim dinginnya dengan amal di
jalan Allah..
Bukankah Rasulullah saw pun beperang 27 kali setelah usia beliau
melebihi 50 tahun. Itu belum ekspedisi-ekspedisi yang hendak beliau pimpin
langsung, jika tidak khawatir akan memberatkan para sahabatnya; sebagaimana
tersebut di dalam hadits[9]… Saya pernah mencoba
meneliti dalam berkas-berkas yang ada tentang orang yang paling banyak jihad
dan kesalehannya di zaman kita ini. Saya tidak mendapati seorang pun yang
menyamai jihad Rasulullah r meski itu dihitung sejak ia masih muda, masih belia.
Di mana orang-orang yang
meneladani Rasulullah saw?
Di mana para pewaris
Nabi itu?
Di mana orang-orang yang
berjalan di jalannya, mengikuti jejak langkahnya? Sungguh, ‘Manusia itu bagai
seratus onta, hampir-hampir tidak ada satu pun yang dapat dikendarai.
Keadaannya persis
seperti sabda Rasul saw. Dan kami masih terus
mencari onta yang dapat dikendarai, yang siap menempuh jalan berat, cuaca yang
buruk, dengan makanan yang sedikit, dan beban yang berat.
Maraji' : Washiyyatul Musthafa Li Ahlid-Da'wah, DR Abdullah Azzam Rahimahullah
[1] Diriwayatkan oleh Imam Muslim,
at-Tirmidziy, dan Ahmad dari Abu Hurairah.
[2] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan
dishahihkannya 3699 dari ‘Abdurrahman as-Sulamiy. Di dalamnya ada kata-kata
‘Utsman ra, “Saya ingatkan kalian kepada Allah!
Apakah kalian tahu bahwa Rasulullah saw bersabda
perihal jaisy ‘usrah, ‘Siapa yang mau infaknya diterima?’ Saat
itu orang-orang dalam kesulitan, lalu aku membekali pasukan itu?” Mereka
menjawab, “Ya.” At-Tirmidzi meriwayatkan juga dan menshahihkannya 3703, juga
an-Nasa`iy 6/234 dari Tsumamah bin Hazan al-Qusyairiy. An-Nasa`iy meriwayatkan
juga 6/47 dari Ahnaf bin Qais dan menyebutkan bahwa mereka yang hadir saat itu
adalah ‘Ali, Zubeir, Thalhah, dan Sa’ad bin Abu Waqqash ra
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq tanpa
sanad. Sirah Ibnu Hisyam vol I/615
[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih
dalam tafsirnya dari Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqash al-Laitsiy dari
ayahnya dari kakeknya. Al-Umawiy menyebutkan kalimat ini dalam al-Maghazi,
karyanya. Demikian tersebut dalam al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir 3/264
[5] Ini tambahan versi al-Umawiy dalam
al-Maghazi.
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq tanpa
sanad. Sirah Ibnu Hisyam vol. I/615
[7] Demikian diriwayatkan oleh Ibnu
Ishaq tanpa sanad seperti tertera dalam Sirah Ibnu Hisyam vol.1/615. Ada juga
al-Bukhariy 7/223, dan Ahmad 1/390 yang mirip dengannya dari hadits Ibnu Mas’ud
ra
[8] Ibnu Hisyam menyebutnya dari Ibnu
Ishaq dalam Sirah vol. II/520 tanpa sanad. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari
Sa’ad bin Khaitsamah ra. Dalam Majma’uz Zawaid
6/113 disebutkan, ‘Di antara para perawinya ada Ya’qub bin Muhammad az-Zuhriy,
seorang yang dlaif.” Muslim meriwayatkan 2769 dari Ka’ab bin Malik, katanya,
“Saat itulah beliau melihat seseorang dari kejauhan menyirnakan fatamorgana.
Lalu Rasulullah saw bersabda, ‘Semoga itu Abu
Khaitsamah!’ Dan ternyata itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshariy.”
'Aktifis' Banyak, tapi yang AKTIF Sedikit
Reviewed by Obet
on
September 13, 2013
Rating:
No comments: