Ada dua kisah nyata tentang orang-orang yang menempuh jalan fujur dan jalan takwa. Ia adalah anak seorang raja. Kerajaannya waktu itu dapat dikatakan tidak terlalu besar dan terletak di daerah keras iklim dan tanahnya. Raja-raja nenek moyangnya selama berabad-abad selalu mengganggu negara-negara tetangganya yang ada disebelah selatan, tenggara dan timur negaranya. Kerajaannya betul-betul di tengah-tengah daratan dan tidak ada laut disekitarnya. Sang anak memiliki obsesi untuk bisa hidup penuh kenikmatan duniawi. Ia melihat kerajaannya tak akan bisa memenuhi ambisinya itu. Maka ia berlatih perang hingga ia memiliki ketrampilan perang yang luar biasa. Semua tentara di negeri itu dilatih sungguh-sungguh hingga trampil berperang.Cita-cita hidupnya adalah memperoleh kenikmatan hidup sebesar-besarnya. Ia gantikan ayahnya, dan ia pindahkan singgasananya dari kursi di dalam istana keatas punggung kuda. Ya, ia memberi komando bagi pemerintahannya dari atas kuda. Ia bawa rombongan tentara yang berjumlah besar. Rombongan itu mulai keluar dari negerinya menuju ke arah barat, dan satu per satu jatuhlah negara-negara yang dilaluinya.. Bila mereka melakukan perlawanan, maka bukan hanya tentara musuh yang mereka basmi, warga Negara yang tidak tahu-menahupun menjadi sasarannya.
Kolonisasi yang dilakukannya sangat destruktif, sangat merusak apa-apa yang dijumpainya. Semboyan mereka untuk memperoleh kenikmatan hidup adalah memperkosa wanita, membunuh penduduk yang dijumpai ketika melewati suatu negara, memenggal orang-orang yang melakukan perlawanan, dan berbagai kesadisan lainnya. Ia adalah Jenghis Khan, pendiri emporium Mongolia. Dibawah pemerintahan cucunya, Hulagu Khan, kekhalifahan Abbasiyah yang beribukota di Baghdad dihancurkan pada tahun 1258. Ia, anak dan cucunya, memilih jalan fujur! Ia hancurkan istana Baghdad, khalifah terbunuh, semua tentaranya dimusnahkan, istana dipagari dengan kepala manusia, perpustakaan yang ada dihancurkan dan semua bukunya dibakar. Hawa nafsu untuk berkuasa telah menguasai jiwa dan pikiran Jenghis Khan hingga cucunya. Mereka memahami kebahagiaan itu sebagai perbuatan sadis. Jiwa mereka kelam.
Pikiran mereka hanya di fokuskan pada upaya memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya. Mereka tidak mengenal peri kemanusiaan. Yang mereka kenal adalah kemenangan, tanpa mempedulikan keberadaan bangsa lain. Mereka memperoleh petunjuk ke jalan fujur (sesat), yaitu cara untuk meninggalkan tempat yang terang menuju ke gelapan hidup. Petunjuk yang diharapkan oleh orang yang jiwanya bersih adalah petunjuk yang benar, yang mengantarkan ke jalan takwa, sehingga dapat sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Dibawah ini adalah kisah mereka yang mengambil jalan takwa.
Pada abad 6 SM, ada seorang raja yang hidup di negeri Kapilawastu, dekat Nepal sekarang. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Siddharta Gautama. Sang anak ini diramalkan dikemudian hari bakal menjadi seorang Begawan agama. Sang raja tidak bisa menerima kabar ini. Kehendaknya adalah anak ini akan dijadikan ahli waris kerajaan dan dijadikan raja menggantikan dirinya. Karena itu, sang anak selalu di kelilingi oleh berbagai kemewahan dunia. Bukan hanya materi, tetapi emban dan perawan bagaikan bidadari ada di dalam istana.
Agar tidak terseret oleh dunia luar istana, sang anak di nikahkan pada usia enam belas tahun. Setelah menikah Siddharta sesekali di ijinkan keluar istana. Pengalaman di luar istana, seperti melihat orang sakit, orang mati, orang miskin, dan lain-lain membuatnya prihatin tentang kehidupan ini. Ia mulai merenung, merenung, dan merenung. Kesadarannya telah melampaui tahap muthmainah.
Secara diam-diam, ia tinggalkan istana untuk pergi ke hutan. Dibawah asuhan beberapa Guru Brahma ia menjalani tapa-brata. Ia lakukan yoga dan semedi. Setelah enam tahun dibawah asuhan guru-gurunya, ia tidak puas. Ia merasa tidak menemukan jalan takwa yang ia cari. Akhirnya ia tinggalkan guru-gurunya. Ia melatih diri bermeditasi menurut caranya sendiri di bawah pohon Bodhi. Setelah enam minggu ber tahanut, ia mengalami pencerahan. Ia menjadi manusia yang tercerahkan. Ia Budhha.
Kemudia ia tinggalkan hutan, ia mengembara ke seluruh negeri untuk mengajarkan jalan takwa kepada manusia yang ada di India. Dan dalam kalangan tertentu, beliau disebut sebagai Nabi Dzulkifli a.s, yaitu Nabi yang memiliki Kifli alis Kapila (wastu).
Demikianlah kisah orang yang dilahirkan dengan kesadaran yang tinggi. Istana yang penuh kemewahan tidak mampu membelenggunya. Dirinya tidak terikat lagi oleh kesadaran yang ada diluar dirinya. Dia hidup di dunia, tetapi dunia tak mampu mengikatnya.
Contoh lainnya tentu saja Rasul Allah, Nabi Muhammad saw. Ia masih dalam kandungan ibunya ketika sang ayah Abdullah ibn Abdul Muthalib wafat di Madinah. Sang ibu, Siti Aminah, melahirkannya sebagai seorang miskin. Sang bayi hendak disusuinya sendiri. Tetapi masa itu ramai-ramai wanita yang sedang menyusui mencari nafkah dengan menyusui anak orang lain.
Adalah Halimah, seorang wanita yang sedang mencari jasa manyusui ini, tidak mendapatkan bayi yang hendak disusuinya. Ada sih, seorang bayi laki-laki, tapi dari keluarga miskin. Bayi itu adalah Muhammad!. Para wanita pesusu tidak mau menyusui bayi tersebut, karena ibundanya seorang miskin. Tak ada ongkos buat menyusui! Halimah ragu-ragu, termanggu-manggu. Mau pulang dengan tangan hampa ia malu dengan tetangga. Tapi, menyusui bayi itupun ia tak mendapatkan imbalan. Ternyata rasa malunya lebih besar dan ia putuskan untuk menyusui Muhammad walaupun tanpa memungut imbalan.
Ia ambil Muhammad dengan tulus. Ia didik anak tersebut ditengah kemiskinan. Muhammad dididik dan diasuh oleh keluarga Halimah di pemukiman Bani Sa’ad hingga umur lima tahun. Pada unur inilah terjadi peristiwa penyucian rohani, yang dikenal dengan “peristiwa pembedahan dada oleh Malaikat Jibril”. Setelah peristiwa tersebut, Muhammad di ajak pulang ke ibunda kandungnya, Siti Aminah binti Wahb, di Makkah. Muhammad kembali bertemu dengan ibundanya dan kakeknya Abdul Muthalib.Tak berapa lama tinggal bersama mereka, ibunda tercintanya wafat pada saat Muhammad berusia enam tahun..
Kini betul-betul ia adalah seorang anak yatim piatu. Kemudia ia di asuh oleh kakeknya, dan ketika di umur delapan tahun, kakeknyapun wafat. Ia betul-betul seorang anak yang ditinggal oleh mereka yang mengasihinya dan dikasihinya. Akhirnya Muhammad diasuh oleh pamannya yaitu Abu Thalib. Ia menjadi gembala biri-biri, dan pada waktu tertentu membantu pamannya ikut berdagang.
Suatu hari Muhammad telah tumbuh menjadi pemuda tampan dan halim, lemah lembut, santun, dan terpuji di kota Makah. Di kota Makah ada seorang wanita kaya raya yang kedudukannya sebagai pengusaha sangat terhormat dan mulia. Beliau mendengar bahwa ada seorang pemuda yang dikenal jujur, tidak pernah berdusta, dan setia pada amanah yang diembannya. Pemuda tersebut adalah Muhammad, kemudian beliau merekrutnya sebagai pedagang yang membantunya.
Muhammad menjalankan tugas perdagangan ke negeri Syams, ditemani oleh karyawan beliau yang lain, Maisarah. Singkat kata, Muhammad adalah pedagang tangguh, terpuji dengan segala kejujurannya, dan berhasil. Nilai perdagangannya menjadi jauh lebih besar dari sebelumnya. Kondisi ini menarik hati beliau yang berstatus janda itu untuk menjadikan Muhammad sebagai suaminya. Lewat sahabat karib beliau, Nafisah binti Munabbih, Siti Khadijah menyampaikan keinginannya untuk menjadikan Muhammad sebagai suaminya. Tawaran itu diterima Muhammad dengan baik. Pernikahan dilaksanakan dengan khidmat. Khadijah pada waktu itu berusia 40 tahun dan Muhammad 25 tahun.
Sebagai seorang suami yang berasal dari keluarga miskin, tidak menjadikan beliau kemaruk harta benda. Belaiu yang sudah memiliki kesadaran tinggi ini, tidak terikat oleh kehidupan dunia. Beliau lebih banyak kontemplasi dan prihatin atas nasib masyarakat Arab pada waktu itu. Beliau merenung, merenung, dan merenung. Belaiu sangat cerdas dan tajam dalam memandang hakikat kehidupan ini.
Pada usia 36 tahun belaiu diberi gelar “Al-Amin”, yang terpercaya. Luar Biasa! Masyarakat Quraisy yang pelit pujian terhadap klan lain ini, justru memberikan gelar yang sangat terhormat itu kepada Muhammad, yang secara kekuasaan duniawi tak dimilikinya. Muhammad terus melakukan perenungan. Dan, setiap tahun pada bulan Ramadhan beliau mengasingkan diri untuk melakukan perenungan di Gua Hira. Setelah melakukan itu beberapa kali, maka beliau menerima wahyu yang disebut Al-Quran. Beliau menjadi Nabi!
Walaupun kita tidak bisa menirunya, tetapi kita dapat mengambil pelajaran dari keteladanan-keteladanan itu agar kita tetap optimis dalam menembpuh hidup ini. Kita bisa melewati dunia ini tanpa terjebak oleh dunia.
http://www.e-arrahman.com/?p=73
Harta dan Kemuliaan
Reviewed by Obet
on
February 02, 2012
Rating:
No comments: