Give It 2 Me

Kita sering kurang sabar. Lompatan paradigma membuat kita lupa, tidak semua orang sehebat yang kita kira. Akibatnya, merasa berjuang sendiri, membuat jiwa gentar bahkan perlahan mati. Bak bunga, akan cepat habis wanginya jika dipetik sebelum waktunya.  Ketika kemenangan didapat, para sahabat malah bertasbih, tahmid, istighfar, bahkan bertaubat. Beda dengan kita, membusungkan dada, mendongakkan kepala. Khawatir alasannya, jika kesuksesan mereka tercampuri cara yang mengundang murka-Nya. Aneh sepertinya, tapi…begitulah realitanya.

Sebagian kita gerah melihat pasangan asyik bercengkrama dengan koran.  Kita berharap tak dipoligami perhatian ketika kekasih usai dari kesibukan. Episode cinta muhammad-khadijah mungkin layak direnungkan. Ketika beliau menunggu perjumpaan sucinya, Jibril datang membawa salam -Nya, atas semua pengorbanan di tengah curamnya kenabian suaminya. ‘Sampaikan salam Allah kepada khadijah, katakan padanya: Allah memberi kabar gembira berupa surga yang tak pernah mengenal kata lelah dan kecewa’ (muslim/6223). Sumbangsih menghantarnya menuju mulia, mendulang syurga. Beliau bayar dulu di depan, untuk dipetik setelah semua pantas dijadikan kebanggaan.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (hawa) dari dirinya” (4/1). Sangat gampang bagi-Nya, untuk menciptakan hawa dari bahan baku lainnya. Salah satu rahasianya, Allah ingin para pria tak lupa, pasangan adalah belahan jiwa sejatinya. Akan berpikir 1000 kali, jika mau ringan tangan dan menzalimi. Makanya, Allah mengukur ketakwaan pria dengan perlakuannnya pada wanita. Para wanita adalah saudara kandung para pria (al ajaluni II/453). Beliau juga bersabda: berprilaku baiklah kepada para wanita (ibnu majah/1851).

Ternyata, semua ada harganya. Ketentraman, posisi mulia, bahkan surga harus dibeli dulu oleh penggilanya. No pain no gain. Bahkan Maryam yang hamil tua harus mengunduh pohon kurma, sebelum Allah turunkan buah satu-satu ke sekelilingnya. Kalaupun ada sedikit kerenggangan nuansa, kerontang mendominasi suasana, mungkin keengganan melayani yang jadi pemicunya. Bermimpi harmonisnya keluarga sah-sah saja, tapi…kalau tak juga berani korban segalanya, kapan bahagianya? Wallahu A’lam

http://www.e-arrahman.com/?p=408